Rabu, 05 Desember 2007

fangkihu ma thoba

POLIGAMI DAN KELUARGA
Oleh : Irfan Afandi
Poligami telah menjadi perbincangan serius dalam masyarakat muslim Indonesia . Tentunya, di sini poligami bukan lagi berada dalam wacana agama saja tetapi juga telah merambah menjadi wacana sosial-politik.Dalam perspektif al-Qur'an aturan poligami seringkali dihubungkan dengan penggalan Qs. al-Nisa' (4) : 3 yang menyatakan "kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja". Ayat ini ditafsirkan secara ambigu oleh tiga kelompok orang. Pertama, kelompok yang memperbolehkan lelaki berpoligami dengan merujuk pada ayat ini yang dikuatkan dengan realitas historis. Seperti fakta tentang lebih banyaknya jumlah populasi perempuan di banding dnegan laki-laki yang terjadi di masa Nabi dan juga di masa sekarang. Sedangkan banyak sekali isu kekerasan terhadap perempuan sehingga laki-laki berkewajiban melindunginya dengan cara menikahi dengannya. Kedua, kelompok yang melarang berpoligami yang menafsirkan ayat tersebut dengan menutup wilayah tekstualnya. Menurut pendapat ini keberbolehan berpoligami disebabkan temporalitas dari sifat ayat. Sehingga di masa sekarang yang tidak mempunyai permasalahan seperti zaman Nabi dilarang untuk berpoligami. Ketiga, kelompok yang memperbolehkan dengan bersyarat lelaki yang berpoligami. Ketentuan ini ditetapkan atas akhir ayat yang menjelaskan tentang wacana kedzaliman dalam berpoligami.Padahal permasalahan yang terjadi di masyarakat bukanlah wacana boleh atau tidak boleh. Al-Qur'an secara tekstual tidak melarang berpoligami "kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat". Ini adalah justifikasi yang sangat kuat bagi pelaku poligami. Belum lagi realitas sosial yang menunjukkan adanya peningkatan kasus perselingkuhan. Ini malah memperkuat keharusan poligami. Pernikahan yang sah merupakan salah satu jalan orang yang beradab dalam menyalurkan hasrat seksual dan mempertanggungjawabkannya baik secara agama maupun sosial.Dari sisi ini, pelarangan poligami malah menjadi sesuatu yang naif sebab seakan-akan mengesahkan beberapa orang yang mampu berpoligami untuk menyalurkan hasrat seksual secara sah. Tetapi kalau poligami diperbolehkan maka terjadi ketidakadilan dalam hubungan suami-istri. Kalau suami diperbolehkan agama untuk poligami, kenapa istri dilarang poliandri? Kalau saja alasannya hanya urusan seksual, ini tidaklah logis sebab mengenai masalah seksual, laki-laki maupun perempuan mempunyai masalah yang sama; sama-sama ingin berpetualang.Hak Anak dan Masyarakat dalam PoligamiSemua pelaku poligami berpegangan pada pemahaman teks al-Qur'an untuk berpoligami. Berpegang asumsi tersebut, ketika sebagian orang dan juga intitusi pemerintah melarang poligami, maka akan terjadi class social antara yang menolak dan yang menerima. Pegangan pelaku poligami adalah pemahamannya terhadap teks al-Qur'an yang menjadi kitab suci agama Islam. Kalau saja satu ayat saja terintervensi oleh orang lain, maka akan menyulut rasa keberagamaan dan hak untuk melakukan syariat Islam. Untuk itulah, masalah poligami harus dilihat bukan hanya dalam perspektif boleh dan tidak boleh, tetapi masalah-masalah apa sajakah yang ada dalam poligami.Ulama' fiqh dulu selalu mempertimbangkan izin istri untuk berpoligami. Hal ini untuk menyikapi adanya wacana keadilan dan kasus poligami. Kemudian keadilan diartikan sebagai kesediaan dan kerelaan istri untuk dimadu. Apabila istri mengizinkan, maka suami boleh menikah lagi. Masalahnya, seringkali pihak istri mendapat teror teologis dari statemen yang disandarkan kepada Rasulullah tentang Istri yang mau di madu. Tentunya, ini menjadi preseden buruk atas ketulusan wacana poligami untuk memecahkan permasalahan sosial; seperti perselingkuhan dan zina. Melihat hal tersebut, hal ini tentunya harus dipertanyakan ulang sebab ternyata pihak istri telah terkonstruksi kesadarannya oleh justifikasi teologis yang menguntungkan pihak suami. Untuk itulah, poligami harus didudukan bukan hanya relasi antara suami dan istri tetapi adalah maslah keluarga yang menyakut seluruh anggota keluarga dan juga masyarakat. Harus diketahui poligami terjadi dalam tubuh rumah-tangga. Sedangkan dalam susunan anggota keluarga bukan hanya suami-istri, tetapi ada anak dan juga masyarakat. Anak adalah salah satu bagian dari relasi poligami yang ikut serta merasakan ekses dari aktifitas poligami. Untuk itulah anak juga harus diajak membicarakan nasibnya. Sedangkan masyarakat juga harus mengkontrol kesanggupan suami untuk berpoligami. Masyarakat berhak atas ini sebab mereka adalah orang yang paling mengerti dan netral dalam menilai kesanggupan suami poligami. Masyarakat bertugas menilai bagaimana kemampuan ekonomi, psikis, sosial calon pelaku poligami, apakah ia dapat berlaku adil atau tidak.Sementara ini, anak maupun masyarakat, dalam wacana poligami, tidak diikut sertakan sehingga wacana poligami tidak menyentuh inti darui permasalahan; mawadah wa rahmah dalam keluarga. Di satu sisi, al-Qur'an, secara tekstual, tidak terbantahkan lagi memperbolehkan poligami. Tetapi di sisi lain kelompok yang menolak poligami, melihat pelaku poligami tidak konsisten dengan sikapnya. Kenapa mereka menikahi perawan atau janda-janda cantik lagi kaya bukannya anak-anak yatim dan juga janda-janda tua yang ditinggal mati suaminya? Inilah keambiguan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Poligami tetaplah poligami. Walaupun seluruh dunia mengutuk poligami, masih akan ada suami yang berpoligami.

Irfan Afandi, Peserta Progam Pasca-Sarjana UIN Sunan Kalijaga, Kosentrasi Study al-Qur'an dan Hadis. Aktif di Islamic Indonesian Institut (III), Yogyakarta.

wastanginu bi al-shobri wa al-sholat

USAHA DAN USHALLI
Oleh : Irfan Afandi
Dunia adalah tempat berusaha. Bagaikan ladang, kehidupan dunia akan memberi keuntungan ketika kita telah berusaha menanam denghan bibit yang baik dan perawatan yang baik pula. Usaha harus selalu dilakukan sebab tidaklah mungkin keberhasilan akan diperoleh tanpa melakukan usaha semaksimal mungkin.Sebagai seorang manusia usaha merupakan sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Tetapi, sebagai seorang muslim, bukan hanya usaha yang harus dilakukan tetapi juga berdoa kepada Allah SWT merupakan keharusan sebagai ungkapan penyerahan kepada sang pencipta.Dalam prakteknya, ushali adalah salah satu bentuk doa kepada Allah. Berniat untuk shalat bukanlah sembarang berdoa, tetapi merupakan ritual di mana seorang hamba melakukan pengharapan secara lisan melalui bacaan-bacaan shalat, sekaligus secara simbolik berserah diri sepenuh kepada penciptanya. Allah berfirman dalam al-Qur'an ”hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”.Seperti halnya seorang pelukis yang mencurahkan daya dan ciptanya untuk menghasilkan satu karya yang estetis. Sepanjang aktifitas melukis, ia harus bersabar mencoret-coret di atas kanvasnya demi sebuah kreatifitas, ia juga bersabar ketika karya itu dipamerkan, menunggu penilaian pemirsa dan mengharap karyanya dapat diterima di masyarakat.Dalam kaitannya dengan kehidupan seorang muslim, makna shalat di sini mempunyai dua makna. Pertama, makna luar yakni shalat yang dilakukan dengan kaidah serta rukun seperti halnya yang dicontohkan oleh nabi Muhammad Saw. Memang, makna ini bersifat simbolik, tetapi harus dilalui oleh seorang muslim sebagai ritual yang tidak harus dipertanyakan apa dan kenapa? Kedua, makna dalam; yakni sebuah pengharapan yang terartikulasikan dalam kekhusukan dalam aktifitas shalat. Dengan pengharapkan yang bersumber dari semangat shalat, seorang muslim tidak akan menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam perbuatan keburukan dan anarkhisme, seperti yang telah difirmankan Allah dalam al-Qur'an "sesungguhnya shalat mencegah keburukan dan kemungkaran".Konsep usaha dan ushalli dengan pemahaman makna dalam dan luar ini, adalah dua kutub yang tak bisa dipisahakan satu dengan lainnya. Keduanya seharusnya bukan hanya dilihat dari sudut ibadah saja, tetapi harus ditekankan pada aspek psikologis diri yang akan selalu berhubungan di antara manusia. Makna ini adalah makna estetis dari ushalli yang sangat berpengaruh pada kepribadian masing-masing orang.Semua orang seharusnya sadar, bahwa kadang mereka mendapatkan musibah atau kemalangan, sebagaimana ia kadang waktu juga mendapat keberuntungan. Tanpa di dasari kekuatan estetik diri manusia, yang sebagai sebuah makna ritual doa dan sebagai makna pengharapan estetis yang paling tinggi, pastilah akan menumbuhkan kekuatan diri manusia. Maka benarlah firman Allah Swt yang menyatakan bahwa beruntunglah orang yang selalu menjaga kekhusyu'an dalam shalatnya. terartikulasikan dalam pemaknaan praktik "usaha dan ushalli", kebanyakan manusia akan terlena dengan keberhasilan atau "berhenti berharap" ketika menjumpai kegagalan.Akhirnya, shalat

tafsir Qs. al-Baqoroh 1-20

1Tiga Golongan ManusiaImam Mujahid seorang perowi hadis terkenal dari masa sahabat pernah menafsirkan 20 ayat pertama dari surat al-Baqarah. Ia berkata “empat ayat dari surat ini (al-Baqarah) diturunkan (untuk menerangkan) golongan mukmin, dua ayat setelahnya menerangkan tentang golongan kafir kemudian 13 ayat selanjutnya menerangkan tentang golongan orang munafik”.Dengan pertimbangan periwayat hadis tersebut, ar-Razi seorang penafsir dari abad pertengahan membagi manusia dalam al-Qur'an menjadi tiga golongan, pertama, golongan yang beriman kepada Allah dan rasulullah yang kemudian disebut dengan mukmin. Kedua, adalah kelompok manusia yang mengingkari untuk beriman kepada Allah dan rasulnya yang kemudian disebut golongan kafir. Sedangkan ketiga, adalah kelompok orang yang pada sisi lahirnya menampakkan keimanan kepada Allah dan rasulullah tetapi sebenarnya sisi bathiniyyahnya mengingkarinya yang kemudian disebut dengan munafik.Secara historis ke duapuluh ayat di atas merupakan ayat-ayat yang diturunkan pada saat awal mula Rasulullah berhijrah di Madinah. Tujuan khusus dari ayat-ayat tersebut diturunkan untuk memberi gambaran peta masyarakat Madinah pasca hijrah. Hal ini sangat diperlukan oleh nabi Muhammad mengingat beliau dan para sahabatnya merupakan pendatang dan penduduk baru di kota Madinah. Untuk itulah, beliau memerlukan gambaran umum tentang bagaimana keadaan masyarakat Madinah sehingga ia dapat menentukan langkah politis untuk mengembangkan dakwah islamiyyah.Sedangkan tujuan umum dari ayat tersebut adalah memberi pengetahuan tentang karakter-karakter manusia dalam satu masyarakat tertentu. Dalam ayat tersebut ditunjukkan bahwa orang yang beriman harus memenuhi beberapa syarat pertama, harus menyatakan persyaksian atas kebenaran Muhammad sebagai utusan Allah, kedua, harus bersedia mendirikan shalat, ketiga, bersedia mengeluarkan sebagain hartanya untuk berzakat. Keempat, harus mengimani al-Qur'an dan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya sebagai kitab Allah, dan kelima harus menyakini keberadaan kehidupan dia akhirat.Sedangkan kafir adalah pertama, golongan orang yang tidak bersedia mengakui Muhammad sebagi utusan Allah. kedua, golongan orang yang telah dikunci hatinya oleh Allah untuk tidak beriman, dan yang ketiga, golongan orang yang akan dimasukkan neraka untuk selama-lamanya. Sedangkan golongan yang terakhir yakni munafik adalah pertama, orang yang secara lisan menyatakan keberimannnya kepada Allah dan rasulnya tetapi sebenarnya dia tidak beriman. Kedua, orang yang mempunyai dalam penyakit hati sehingga ia selalu mempunyai akhlaq yang buruk, ketiga, orang yang suka membuat kerusakan, keempat orang yang suka menghina keimanan orang lain dan mengatakannya bodoh. Kelima, orang yang berwajah dua; kalau berkumpul dengan orang mukmin mereka mengaku sebagai mukmin tetapi apabila berkumpul dengan kafir mereka mengaku berada di fihak golongan kafir.Dari ketiga pembagian tersebut, dapat dilihat bagaimana al-Qur'an membuat klasifikasi sosiologis, ini sangat berguna sebagai pegangan orang yang beriman, bukan untuk memojokkan orang lain, tetapi untuk menciptakan definisi kehidupan yang jelas.

Tafsir Surat al-Humazah

NERAKA KHUTHOMAH(Irfan Afandi)Al-Qur'an menyebutkan kata khuthomah dalam Qs. al-Humazah; 4. Allah berfirman "sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Khuthamah". Menurut Ibnu Katsir, dalam kitab tafsirnya, khuthomah merupakan salah satu nama dari sifat neraka yang mampu menghancurkan badan. Khuthomah berasal dari kata khathama yang bermakna memecah dan atau menghancurkan. Dalam kaidah bahasa Arab, khuthomah merupakan kata yang bermakna penyangatan yakni; (sesuatu/peristiwa) yang benar-benar mampu memecah-belah dan menghancurkan.Dalam Qs. al-Humazah 1-3, khuthomah berhubungan dengan tiga perbuatan yakni humazah atau pengumpat dan lumazah atau pencela dan para pengumpul harta yang sombong. Menurut al-Rabi' ibn Anas, makna humazah adalah mencela secara langsung berhadap-hadapan sedangkan lumazah adalah mencela di belakangnya. Imam Mujahid berpendapat al-humzah itu dengan isyarat tangan atau mata sedangkan lumazah dengan lisan. Sedangkan menurut Ibn Abbas humazah dan lumazah adalah pencemaran nama baik dan membicarakan aib orang lainHubungan antara khutomah dan humazah/lumazah dan pengumpul harta yang sombong merupakan hubungan timbal balik. Kedua perbuatan tersebut menjerumuskan manusia ke dalam neraka khutomah, kelak di akhirat. Sebenarnya, kalau saja manusia mengerjakan dua perbutan tersebut di dunia, mereka juga akan merasakan neraka khuthomah dunia. Wujud neraka khuthomah di dunia adalah peristiwa atau saat-saat di mana manusia terpecah belah. Umpatan dan juga celaan tentunya akan membuat manusia dalam perpecahan.Dalam Qs. al-Humazah ayat 6-7; "(yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke hati.". Dengan adanya perbuatan humazah/lumazah Api permusuhan, api kebencian api fitnah, api kedengkian akan terus menerus dinyalakan. Umpatan-umpatan, dari antar umat beragama menimbulkan konflik beragama, celaan-celaan dari tetangga menumbuhkan saling mencurigai, umapatan-umpatan dari istri atau suami memunculkan ketidak harmonisan dalam berumah tangga. Begitu juga sifat dari pengumpul-pengumpul harta yang menumpuk harta kekayaan tanpa mau berinfaq, memicu terbakarnya neraka khuthomah dunia yakni api kesenjangan ekonomi, api kecemburuan sosial, api peningkatan angka kriminalitas, api pengangguran dan api kesejahteraan penduduk yang tidak merata. Kemudian dua ayat terakhir menunjukkan secara jelas bagaimana gambaran manusia, "sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka, (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang". Dengan adanya lumazah, humazah dan penumpuk-penumpuk harta yang sombong, komunitas sebuah masyarakat terasa berada dalam oven yang panas, sedangkan penduduknya tidak bisa berlari, hanya bisa menjerit, meronta dan menangis karena di ikat di tiang-tiang yang kuat; yang berwujud api permusuhan.Oleh sebab itulah, dalam kehidupan bermasyarakat hendaknya masing-masing individu dapat hidup berdampingan dan menahan diri untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan tersebut. Umpatan, celaan dan juga sombong karena harta, hanya membawa api perpecahan dan api kesenjangan di dalam masyarakat. Maka sebenarnya, yang membuat hidup ini terasa indah, damai dan menyenangkan hanyalah kita sendiri yang dapat mewujudkannya. Wallahu'alam